HARTA YANG PALING BERHARGA
Semua berawal dari
lingkungan yang serba mewah. Aku masuk di sebuah SMA yang bisa di bilang SMA
paling termahal di daerahku. SMA 110 Bandung itu namanya, aku termasuk siswi
yang sangat mempunyai banyak prestasi. Aku termasuk anak berbakti dengan kedua
orang tua ku. Tapi itu dulu...
Sejak
kepergian ibu, aku sekarang tinggal seatap dengan ayahku. Hidup yang serba
kecukupan ini membuatku bosan dan menyesal. Kenapa ayah bangrut? Kenapa ibu
pergi? dan kenapa kakak ku tega meninggalkan di hidup yang susah ini?
Kini usia ku sudah 16 tahun, kurang 2 minggu
lagi aku berusia 17 tahun. Tepatnya di hari 14 februari dimana orang menyebut
hari valentine atau hari kasih sayang, tapi menurutku itu hari yang biasa saja.
Pikirku, itu hari yang akan ku benci karena aku tak kaya. Untuk membeli pulsa
saja, aku harus menyisihkan uangku selama 5 hari. Mulut ini ingin sekali
memarahi ayah karena beliau tak mampu menafkahi anaknya.
“Tapi
ayah tak punya uang nak untuk membelikan baju dan sepatu baru sebagai kado
ulang tahun mu nanti.” Ujar ayah dengan memasang muka sedih. Aku yang sekarang
beda sama aku yang dulu . Padahal, beliau orang tuaku satu-satunya yang masih
hidup. Semenjak 3 tahun jatuh miskin , beliau terkena penyakit stroke.
“Indah,
malu yah. Lihat sepatu Indah sudah tak layak pakai sudah tua pula.” Ucap Indah
dengan membuang sepasang sepatu itu yang baru saja aku lepas . Tanpa rasa
bersalah aku membuangnya ke wajah ayahku.
“Ya
tuhan, Indah ini Bapak ayah kamu nak, Kenapa kamu beda dengan yang dulu nak ?
kamu malu punya ayah cacat seperti ini ? “ Tanya ayah padaku dengan memasang
muka sedih.
“Iya,
saya malu dengan ayah cacat seperti ini. Aku juga malu kalau ayah memunguti
sampah di sekolahku. Teman-teman sering mengejekku bukan hal itu saja, tetapi
sepatu ini yang sudah tak layak pakai.” Jawabku tanpa perlu basa-basi
“Bagaimana
ayah akan kerja nak , kalau kamu malu jika ayah memunguti sampah di tempat kau
mencari ilmu.?” Tanya ayah padaku
“Ayah
kan bisa mencari kerja yang lain. Sudahlah! Indah mau pergi dulu, Indah nggak
mau tahu nanti ulang tahunku, sudah ada baju dan sepatu baru di depan ku. “
Jawabku. Aku langsung meninggalkan rumah dengan masih menggunakan seragam
sekolah.
Ku
jalankan tubuhku yang suntuk dengan menggelillingi jalan. Setiap ada botol di
depanku, selalu aku jadi kan pelampisan ke marahanku. Aku menendangnya sejauh
mana aku bisa. Langkah kaki ini seakan ingin berjalan terus, tapi entah kemana?
yang penting aku nggak mau pulang ke rumah.
........
Senangnya hatiku bila bergabung dengan
teman-temanku tanpa terganggu akan adanya ayahku di sekolah. Tapi jujur, sekian
hari aku kadang mencari-cari keberadaanya. Baguslah ternyata ia menuruti mauku.
Jam kosong yang biasanya di isi dengan beberapa tugas. Kini benar-benar jam kosong.
Tidak ada pelajaran yang membuatku berkeringat karena bosan.
Sepulang sekolah aku
tak langsung pulang. Namun aku diajak teman-teman untuk pergi makan dan belanja
layaknya orang-orang kaya. Hari itu harusnya merasa senang dan puas dengan
teman-temanku dan tidak adanya ayahku. Tapi aku justru merasa malu karena
ayahku ternyata ada di sana. Di saat aku tengah asyik berfoto dengan
teman-temanku. Ayahku menghampiri sambil menyebut namaku.
“Dia siapa In? Kok
penampilannya menjijikan seperti itu.” Kata salah satu temanku berkomentar
tentang ayahku. Sebenarnya aku sedikit tidak terima, tapi rasa maluku menutupi
semuanya.
“Aku tidak mengenalnya, Oh,
mungkin dia pengemis. Lihat saja penampilannya. Sebentar, biar aku kasih dia
uang. Setelah itu dia pasti pergi. Seperti pengemis-pengemis lainnya, Ok.”
Ucapku. Lalu menghampiri ayahku dengan langkah cepat. Benar-benar memalukan.
Mau ku taruh dimana muka ku kalau merekan tahu dia adalah ayahku.
“Indah.. kau ada acara apa
nak di sini? Kenapa kemarin kau tak pulang?” Ayah menyapaku. Dari pertanyaannya
terlihat kalau ia menghawatirku. Tapi entahlah, aku sama sekali tak terasa
kasihan dengan ayahku. Aku benar-benar tidak ingat saat ayah dan aku begitu
akur. Aku juga tidak pernah sadar akan perlakuanku yang sangat tidak baik di
tiru.
“Yah, ayah ngapain di sini? Cepat pergi,
aku tak ingin melihatmu di sini.” Tanpa pikir panjang aku langsung
mengucapkannya. Sebelum ayahku pergi dan hadapanku. Sesekali aku ke belkang ke
arah temna-temanku. Mereka ternyata masih melihatku. Dengan wajah yang getir,
ayah memutar tubuhnya membelakangiku. Sempat ku lihat kalau ia ingin berbicara
sebelumnya, tapi karena aku sudah menyuruhnya pergi, ia tak sempat mengatakan
apa yang ingin ia katakan sebelumnya. Dengan langkah yang bisa dihitung, ku
lihat ayahku pergi dari hadapanku.
Sebenarnya aku sedih, tapi
rasa ingin bersama temna-temanku ini ternyata lebih besar daripada rasaku untuk
bersikap ramah dengan ayahku.
Ku lihat ayahku sudah begitu
jauh dariku. Bayangannya yang gontai sudah tak terlihat lagi dan pandanganku.
Aku lega, tapi sungguh rasa lega ini tak sampai ke hatiku. Aku memutar balik
tubuhku ke arah temna-temanku. Dengan memasang senyum ini untuk mereka, aku
berlari ke arah mereka. Selesai bukan? Itulah kata-kata yang ku lontarkan
ketika aku sudah sampai di dekat teman-temanku. Kembali ke posisi semula, aku
dan temna-temanku kembali meneruskan tawa, tanpa memikirkan ayahku lagi.
......
Hari ini hari spesial bagi
aku karena hari ini dimana aku ulang tahun. Aku sangat kesal, kenapa tak ada
baju dan sepatu baru? Lalu apa spesialnya hari ulang tahunku ini? Ah sial.. ku
lihat tak ada makanan juga di rumah. Aku fikir ayahku memang ining aku mati
kelaparan. Aku mencari ayahku, ternyata ia sedang menyemir sepatu bekas yang ia
dapat dari memulung berhari-hari. Ku rebut sepatu itu dari genggamanya. Lalu
dengan kasar ku dorong pundak ayahku.
“Mana baju dan sepatu
baruku? Hari ini ulang tahunku. Kenapa kau tak juga membelikanku sepatu dan
baju baru?” aku lontarkan begitu saja kata kasar itu di hadapannya. Ku
lemparkan sepatu bekas itu di muka ayahku. Kalau saja aku, aku pasti merasa
sakit, bahkan sangat sakit karena lemparanku sangat kuat.
Aku langsung lari
meninggalkan ayahku. Ayahku yang masih terdiam dengan sikapku. Sebenarnya aku
tak berlari jauh dari rumah, aku hanya memutari jalan kecil dan akhirnya menuju
ke belakang rumahku. Selama aku belari dangan amarah, otakku di hantu oleh rasa
bersalah dengan melemparkan sepatu bekas ke muka wajah ayahku.
Ku lihat ia merangkak
mengambil pasangan sepatu yang beberapa menit ku lemparkan ke wajahnya. Ia
mulai menyemir kembali sepatu bekas itu. Ia terlihat senang dengan sepatu bekas
itu.
“Ya tuhan, aku memang bukan
ayah yang baik untuk anakku. Aku cacat, aku miskin. Aku hanya bisa membuat
anakku malu. Anakku Indah, kamu dimana nak? Kenapa kau sama sekali tak mau
menemui ayahmu ini? Kalaupun ada pilihan lain, sejujurnya ayah tak ingin
menjadi ayah yang buruk untuk anakku . Maafkan aku nak, aku tak punya cukup
uang untuk membelikanmu barang yang baru.” Kata kata itu mampu membungkam
mulutku.
Tak terasa air mataku
menetes. Aku mengingat betapa ayahku sangat menyayangiku.Ketika dulu aku sering
berangkat berdampingan dengannya. Jika ayahku tak memakai alas kaki, aku pun
tak memakai sepatu. Agar aku bisa merasakan sakitnya kulitku menginjak
kerikil-kerikil. Aku mengingat ketika ayahku mengajakku bercanda. Ketika ayahku
bercanda betapa hebatnya ibuku yang kini telah tiada, dan aku mengingat ketika
aku sampai di halaman sekolahku lalu aku mencium tanganya.Tuhan.... Aku sangat
durahaka pada ayahku. Betapa bodohnya aku selama ini, aku tega sekali
dengannya. Tidak sepantasnya perlakuan ini aku tunjukkan untuk ayahku.
Aku kini mulai duduk tak
berdaya, ternyata senakal apapun aku padanya. Ia tetap menyanyangiku. Ia tetap
memanfaatkaku. Ku dengar ia mulai berkata kembali, namun, kali ini aku tak
berani menatapnya. Aku sama sekali tak berani menatapnya. “Baiklah nak, demi
kamu. Ayah akan pergi mencari baju dan sepatu baru untuk mu semoga nanti kau
menyukainya, nak.”
Setelah ayahku berinjak
pergi, aku pun mulai berdiri Ku ikuti ayahku dari belakang. Benar-benar tidak
pernah ku bayangkan selama ini kalau ayahku seperti ini. Begitu gigih
semangatnya untuk mencari uang hanya untuk membiayaiku. Aku juga tak pernah
berfikir kalau sepanjang jalan,ayahku sering jatuh. Namun aku hanya
mengikutinya dari jauh, selalusaja ayah terjatuh tapi ia tetap bangun dengan
senyumannya.
Ia memunguti sampah-sampah
warga. Tidak mudah, karena tidak semua warga suka dengan keberadaan ayahku.
Banyak warga yang mencaci maki ayahku. Aku sebenarnya sanagt kasihan dengannya.
Tapi, aku belum menghampirinya ketika ia mulai berjalan kembali. Aku pun
mengikutinya lagi.
Di sebuah toko besar, ayahku
berhenti. Entahlah ada apa toko besar itu, ku lihat sekitarnya tak banyak
sampah yang ada di sana. Lalu apa yang ayah cari? Ku tangkap arah pandangan ny
sepatu ! ya, sepertinya itu yang aku lihat. Tapi apakah ia punya cukup uang
untuk membelikanku sepatu sebagus itu? Selain bentuknya yang bagus, sepatu itu
pasti mahal. Ingin sekali aku berteriak agar sepatu itu tidak jadi membelinya.
Aku melihat beberapa orang memukuli
salah satu orang. Pikiran ku jadi kacau, jangan-jangan itu ayahku. Aku mencoba untuk masuk ke kerumunan itu
tetapi ada seorang yang mencegahku.”Siapa orang ini” kataku, lalu aku menoleh
ke belakang. “Ayah....” teriak ku dengan histeris. Langsung aku memeluk beliau.
Mungkin ia bingung kenapa aku langsung memeluknya? Padahal aku selalu mencaci
maki ia.
“Ayah, maafin aku ya.” Ucapku sambil
memeluk ayah
“Yang seharusnya ayah yang minta maaf
nak, ayah sekarang belum bisa membelikan baju dan sepatu baru untuk kamu nak.”
“Aku sekarang sudah enggak butuh itu
lagi yah, tuh lihat aku pakai sandal. Ini aku bawa sandal satu lagi untuk ayah,
agar kita bisa rasain memakai sandal.” Ujarku. Ku tundukkan tubuh ini dan
memakaikan sandal itu ke kaki ayah. Ayah mengangkat tubuhku dan memeluk aku.
“Bapak menyanyangimu, nak.” Kata-kata
itu lah membuat air mata ini jatuh. Aku hidup seperti dahulu lagi. Meski tak
ada harga dan barang yang mewah. Aku yakin kasih sayang orang tua jauh lebih
mewah dari apapun.
Seusai memakaikan sandal ke
kaki ayahku, aku dan ayah langsung pulang. Kita berjalan berdampingan sepanjang
jalan. Aku bercerita dengan ayahku dan tertawa kecil dengannya. Tak akan ku
ulangi untuk kedua kalinya dengan hal yang sama.
Ku lihat beberapa hari ini,
wajah ayah sangat pucat. Aku ingin berhenti sekolah dan mau membantu ayah
berkerja tapi ayah menyuruhku untuk sekolah. Sebenarnya aku ingin meminjam uang
ke teman-teman dan pergi ke dokter, mungkin ayah benar-benar sakit. Sekarang
batuk ayah semakin menjadi-jadi dan aku melihat saat ia batuk mengeluarkan
darah. Tapi setiap aku bertanya dia hanya senyum untuk menjawab pertanyaanku.
“Nak, kamu tidak masuk
sekolah?” Tanya ayah padaku.
“Tidak yah, aku ingin
menemani ayah saja..” Jawab ku
“Ayah tidak apa-apa
kok,kalau kamu begini terus, bagaimana sekolah kamu nanti?” ucap ayah
“Ayah istirahat saja, biar
nanti aku yang menggantikan ayah untuk berkerja hari ini, aku tahu ayah sedang
tidak enak badan hari ini.” Jawabku sambil tersenyum
Ayah hanya tersenyum dan
menundukkan kepala dengan batuknya yang nakal itu. Aku langsung mengambil
karung yang biasa di gunakan ayah untuk berkerja.
“Kamu mau kemana nak?” tanya
ayah sambil mencegahku
“Sudah yah , ayah di rumah
saja. Aku ingin membantu ayah dan sakit yang ayah derita sekarang, cepat
sembuh. “ Jawabku sambil tersenyum.
Ku langkahkan kaki ini
dengan meninggalkan rumah. Mencari sampah bukan hal yang mudah. Aku pikir, aku
akan menemukan sampah di sepanjang jalan. Kurasa ayah sangat hebat dalam
melakukan hal ini, betapa malunya diriku bila mengingat kesalahan ku dulu.
Hari semakin sore, kurasa
sampah-sampah telah terkumpul dengan banyak dan ku menjualnya. Sampah yang ku
anggap banyak ternyata hanya 13 ribu, begitu sedikit bagiku dari pada
melakukannya.
Uang yang tak cukup banyak,
aku segera pergi ke apotik. Kaki ini melangkah menuju apotik terdekat. Namun,
aku harus menyebrang dahulu ku rasa jalan sangat sepi dan aku menyebrangi jalan
dengan enjoy. Tiba-tiba sebuah mobil menabrakku dan aku melenting jauh, darah
keluar sangat banyak. Pertama hanya ada 2 orang yang menolongku namun beberapa
kemudian banyak orang yang mengkerumuniku salah satu dari mereka adalah warga
kampungku dan membawanya ke rumah sakit.
Ayah sungguh sangat panik,
untung saja aku segera di bawa ke rumah sakit. Kalau tidak mungkin aku sudah
meninggal beberapa waktu yang lalu. Dokter segera menanganiku.Tapi untunglah,
ada seseorang yang rela mendonorkan darahnya kepada ku. Setelah aku siuman
nanti, aku akan berterima kasih kepada orang yang mau mendonorkan darah
padaku.Aku merasa terganggu dengan korden ini. Ingin sekali aku membukanya dan
melihat siapa orang yang rela mendonorkan darahnya untukku. Dan ku buka korden
itu, aku merasa ingin menangis melihat orang di depanku. Padahal aku tak
mengenal orang itu.
Youtube Betting Archives - VideoDigger.cc
BalasHapusYoutube Betting Archives - VideoDigger.cc A how to convert youtube to mp3 short documentary about the way people view sport with its How to place an online sports bet with the best casino games,