Senin, 09 Maret 2015

CERPEN

                               HARTA YANG PALING BERHARGA


Semua berawal dari lingkungan yang serba mewah. Aku masuk di sebuah SMA yang bisa di bilang SMA paling termahal di daerahku. SMA 110 Bandung itu namanya, aku termasuk siswi yang sangat mempunyai banyak prestasi. Aku termasuk anak berbakti dengan kedua orang tua ku. Tapi itu dulu...
          Sejak kepergian ibu, aku sekarang tinggal seatap dengan ayahku. Hidup yang serba kecukupan ini membuatku bosan dan menyesal. Kenapa ayah bangrut? Kenapa ibu pergi? dan kenapa kakak ku tega meninggalkan di hidup yang susah ini?
           Kini usia ku sudah 16 tahun, kurang 2 minggu lagi aku berusia 17 tahun. Tepatnya di hari 14 februari dimana orang menyebut hari valentine atau hari kasih sayang, tapi menurutku itu hari yang biasa saja. Pikirku, itu hari yang akan ku benci karena aku tak kaya. Untuk membeli pulsa saja, aku harus menyisihkan uangku selama 5 hari. Mulut ini ingin sekali memarahi ayah karena beliau tak mampu menafkahi anaknya.
          “Tapi ayah tak punya uang nak untuk membelikan baju dan sepatu baru sebagai kado ulang tahun mu nanti.” Ujar ayah dengan memasang muka sedih. Aku yang sekarang beda sama aku yang dulu . Padahal, beliau orang tuaku satu-satunya yang masih hidup. Semenjak 3 tahun jatuh miskin , beliau terkena penyakit stroke.
          “Indah, malu yah. Lihat sepatu Indah sudah tak layak pakai sudah tua pula.” Ucap Indah dengan membuang sepasang sepatu itu yang baru saja aku lepas . Tanpa rasa bersalah aku membuangnya ke wajah ayahku.
          “Ya tuhan, Indah ini Bapak ayah kamu nak, Kenapa kamu beda dengan yang dulu nak ? kamu malu punya ayah cacat seperti ini ? “ Tanya ayah padaku dengan memasang muka sedih.
          “Iya, saya malu dengan ayah cacat seperti ini. Aku juga malu kalau ayah memunguti sampah di sekolahku. Teman-teman sering mengejekku bukan hal itu saja, tetapi sepatu ini yang sudah tak layak pakai.” Jawabku tanpa perlu basa-basi
          “Bagaimana ayah akan kerja nak , kalau kamu malu jika ayah memunguti sampah di tempat kau mencari ilmu.?” Tanya ayah padaku
          “Ayah kan bisa mencari kerja yang lain. Sudahlah! Indah mau pergi dulu, Indah nggak mau tahu nanti ulang tahunku, sudah ada baju dan sepatu baru di depan ku. “ Jawabku. Aku langsung meninggalkan rumah dengan masih menggunakan seragam sekolah.
          Ku jalankan tubuhku yang suntuk dengan menggelillingi jalan. Setiap ada botol di depanku, selalu aku jadi kan pelampisan ke marahanku. Aku menendangnya sejauh mana aku bisa. Langkah kaki ini seakan ingin berjalan terus, tapi entah kemana? yang penting aku nggak mau pulang ke rumah.
........
          Senangnya hatiku bila bergabung dengan teman-temanku tanpa terganggu akan adanya ayahku di sekolah. Tapi jujur, sekian hari aku kadang mencari-cari keberadaanya. Baguslah ternyata ia menuruti mauku. Jam kosong yang biasanya di isi dengan beberapa tugas. Kini benar-benar jam kosong. Tidak ada pelajaran yang membuatku berkeringat karena bosan.
            Sepulang sekolah aku tak langsung pulang. Namun aku diajak teman-teman untuk pergi makan dan belanja layaknya orang-orang kaya. Hari itu harusnya merasa senang dan puas dengan teman-temanku dan tidak adanya ayahku. Tapi aku justru merasa malu karena ayahku ternyata ada di sana. Di saat aku tengah asyik berfoto dengan teman-temanku. Ayahku menghampiri sambil menyebut namaku.
          “Dia siapa In? Kok penampilannya menjijikan seperti itu.” Kata salah satu temanku berkomentar tentang ayahku. Sebenarnya aku sedikit tidak terima, tapi rasa maluku menutupi semuanya.
          “Aku tidak mengenalnya, Oh, mungkin dia pengemis. Lihat saja penampilannya. Sebentar, biar aku kasih dia uang. Setelah itu dia pasti pergi. Seperti pengemis-pengemis lainnya, Ok.” Ucapku. Lalu menghampiri ayahku dengan langkah cepat. Benar-benar memalukan. Mau ku taruh dimana muka ku kalau merekan tahu dia adalah ayahku.
          “Indah.. kau ada acara apa nak di sini? Kenapa kemarin kau tak pulang?” Ayah menyapaku. Dari pertanyaannya terlihat kalau ia menghawatirku. Tapi entahlah, aku sama sekali tak terasa kasihan dengan ayahku. Aku benar-benar tidak ingat saat ayah dan aku begitu akur. Aku juga tidak pernah sadar akan perlakuanku yang sangat tidak baik di tiru.
“Yah, ayah ngapain di sini? Cepat pergi, aku tak ingin melihatmu di sini.” Tanpa pikir panjang aku langsung mengucapkannya. Sebelum ayahku pergi dan hadapanku. Sesekali aku ke belkang ke arah temna-temanku. Mereka ternyata masih melihatku. Dengan wajah yang getir, ayah memutar tubuhnya membelakangiku. Sempat ku lihat kalau ia ingin berbicara sebelumnya, tapi karena aku sudah menyuruhnya pergi, ia tak sempat mengatakan apa yang ingin ia katakan sebelumnya. Dengan langkah yang bisa dihitung, ku lihat ayahku pergi dari hadapanku.
          Sebenarnya aku sedih, tapi rasa ingin bersama temna-temanku ini ternyata lebih besar daripada rasaku untuk bersikap ramah dengan ayahku.   
          Ku lihat ayahku sudah begitu jauh dariku. Bayangannya yang gontai sudah tak terlihat lagi dan pandanganku. Aku lega, tapi sungguh rasa lega ini tak sampai ke hatiku. Aku memutar balik tubuhku ke arah temna-temanku. Dengan memasang senyum ini untuk mereka, aku berlari ke arah mereka. Selesai bukan? Itulah kata-kata yang ku lontarkan ketika aku sudah sampai di dekat teman-temanku. Kembali ke posisi semula, aku dan temna-temanku kembali meneruskan tawa, tanpa memikirkan ayahku lagi.
......
          Hari ini hari spesial bagi aku karena hari ini dimana aku ulang tahun. Aku sangat kesal, kenapa tak ada baju dan sepatu baru? Lalu apa spesialnya hari ulang tahunku ini? Ah sial.. ku lihat tak ada makanan juga di rumah. Aku fikir ayahku memang ining aku mati kelaparan. Aku mencari ayahku, ternyata ia sedang menyemir sepatu bekas yang ia dapat dari memulung berhari-hari. Ku rebut sepatu itu dari genggamanya. Lalu dengan kasar ku dorong pundak ayahku.
          “Mana baju dan sepatu baruku? Hari ini ulang tahunku. Kenapa kau tak juga membelikanku sepatu dan baju baru?” aku lontarkan begitu saja kata kasar itu di hadapannya. Ku lemparkan sepatu bekas itu di muka ayahku. Kalau saja aku, aku pasti merasa sakit, bahkan sangat sakit karena lemparanku sangat kuat.
          Aku langsung lari meninggalkan ayahku. Ayahku yang masih terdiam dengan sikapku. Sebenarnya aku tak berlari jauh dari rumah, aku hanya memutari jalan kecil dan akhirnya menuju ke belakang rumahku. Selama aku belari dangan amarah, otakku di hantu oleh rasa bersalah dengan melemparkan sepatu bekas ke muka wajah ayahku.
          Ku lihat ia merangkak mengambil pasangan sepatu yang beberapa menit ku lemparkan ke wajahnya. Ia mulai menyemir kembali sepatu bekas itu. Ia terlihat senang dengan sepatu bekas itu.
          “Ya tuhan, aku memang bukan ayah yang baik untuk anakku. Aku cacat, aku miskin. Aku hanya bisa membuat anakku malu. Anakku Indah, kamu dimana nak? Kenapa kau sama sekali tak mau menemui ayahmu ini? Kalaupun ada pilihan lain, sejujurnya ayah tak ingin menjadi ayah yang buruk untuk anakku . Maafkan aku nak, aku tak punya cukup uang untuk membelikanmu barang yang baru.” Kata kata itu mampu membungkam mulutku.
          Tak terasa air mataku menetes. Aku mengingat betapa ayahku sangat menyayangiku.Ketika dulu aku sering berangkat berdampingan dengannya. Jika ayahku tak memakai alas kaki, aku pun tak memakai sepatu. Agar aku bisa merasakan sakitnya kulitku menginjak kerikil-kerikil. Aku mengingat ketika ayahku mengajakku bercanda. Ketika ayahku bercanda betapa hebatnya ibuku yang kini telah tiada, dan aku mengingat ketika aku sampai di halaman sekolahku lalu aku mencium tanganya.Tuhan.... Aku sangat durahaka pada ayahku. Betapa bodohnya aku selama ini, aku tega sekali dengannya. Tidak sepantasnya perlakuan ini aku tunjukkan untuk ayahku.
          Aku kini mulai duduk tak berdaya, ternyata senakal apapun aku padanya. Ia tetap menyanyangiku. Ia tetap memanfaatkaku. Ku dengar ia mulai berkata kembali, namun, kali ini aku tak berani menatapnya. Aku sama sekali tak berani menatapnya. “Baiklah nak, demi kamu. Ayah akan pergi mencari baju dan sepatu baru untuk mu semoga nanti kau menyukainya, nak.”
          Setelah ayahku berinjak pergi, aku pun mulai berdiri Ku ikuti ayahku dari belakang. Benar-benar tidak pernah ku bayangkan selama ini kalau ayahku seperti ini. Begitu gigih semangatnya untuk mencari uang hanya untuk membiayaiku. Aku juga tak pernah berfikir kalau sepanjang jalan,ayahku sering jatuh. Namun aku hanya mengikutinya dari jauh, selalusaja ayah terjatuh tapi ia tetap bangun dengan senyumannya.
          Ia memunguti sampah-sampah warga. Tidak mudah, karena tidak semua warga suka dengan keberadaan ayahku. Banyak warga yang mencaci maki ayahku. Aku sebenarnya sanagt kasihan dengannya. Tapi, aku belum menghampirinya ketika ia mulai berjalan kembali. Aku pun mengikutinya lagi.
          Di sebuah toko besar, ayahku berhenti. Entahlah ada apa toko besar itu, ku lihat sekitarnya tak banyak sampah yang ada di sana. Lalu apa yang ayah cari? Ku tangkap arah pandangan ny sepatu ! ya, sepertinya itu yang aku lihat. Tapi apakah ia punya cukup uang untuk membelikanku sepatu sebagus itu? Selain bentuknya yang bagus, sepatu itu pasti mahal. Ingin sekali aku berteriak agar sepatu itu tidak jadi membelinya.
Aku melihat beberapa orang memukuli salah satu orang. Pikiran ku jadi kacau, jangan-jangan itu ayahku.  Aku mencoba untuk masuk ke kerumunan itu tetapi ada seorang yang mencegahku.”Siapa orang ini” kataku, lalu aku menoleh ke belakang. “Ayah....” teriak ku dengan histeris. Langsung aku memeluk beliau. Mungkin ia bingung kenapa aku langsung memeluknya? Padahal aku selalu mencaci maki ia.
“Ayah, maafin aku ya.” Ucapku sambil memeluk ayah
“Yang seharusnya ayah yang minta maaf nak, ayah sekarang belum bisa membelikan baju dan sepatu baru untuk kamu nak.”
“Aku sekarang sudah enggak butuh itu lagi yah, tuh lihat aku pakai sandal. Ini aku bawa sandal satu lagi untuk ayah, agar kita bisa rasain memakai sandal.” Ujarku. Ku tundukkan tubuh ini dan memakaikan sandal itu ke kaki ayah. Ayah mengangkat tubuhku dan memeluk aku.
“Bapak menyanyangimu, nak.” Kata-kata itu lah membuat air mata ini jatuh. Aku hidup seperti dahulu lagi. Meski tak ada harga dan barang yang mewah. Aku yakin kasih sayang orang tua jauh lebih mewah dari apapun.
          Seusai memakaikan sandal ke kaki ayahku, aku dan ayah langsung pulang. Kita berjalan berdampingan sepanjang jalan. Aku bercerita dengan ayahku dan tertawa kecil dengannya. Tak akan ku ulangi untuk kedua kalinya dengan hal yang sama.
          Ku lihat beberapa hari ini, wajah ayah sangat pucat. Aku ingin berhenti sekolah dan mau membantu ayah berkerja tapi ayah menyuruhku untuk sekolah. Sebenarnya aku ingin meminjam uang ke teman-teman dan pergi ke dokter, mungkin ayah benar-benar sakit. Sekarang batuk ayah semakin menjadi-jadi dan aku melihat saat ia batuk mengeluarkan darah. Tapi setiap aku bertanya dia hanya senyum untuk menjawab pertanyaanku.
          “Nak, kamu tidak masuk sekolah?” Tanya ayah padaku.
          “Tidak yah, aku ingin menemani ayah saja..” Jawab ku
          “Ayah tidak apa-apa kok,kalau kamu begini terus, bagaimana sekolah kamu nanti?” ucap ayah 
          “Ayah istirahat saja, biar nanti aku yang menggantikan ayah untuk berkerja hari ini, aku tahu ayah sedang tidak enak badan hari ini.” Jawabku sambil tersenyum
          Ayah hanya tersenyum dan menundukkan kepala dengan batuknya yang nakal itu. Aku langsung mengambil karung yang biasa di gunakan ayah untuk berkerja.
          “Kamu mau kemana nak?” tanya ayah sambil mencegahku
          “Sudah yah , ayah di rumah saja. Aku ingin membantu ayah dan sakit yang ayah derita sekarang, cepat sembuh. “ Jawabku sambil tersenyum.
          Ku langkahkan kaki ini dengan meninggalkan rumah. Mencari sampah bukan hal yang mudah. Aku pikir, aku akan menemukan sampah di sepanjang jalan. Kurasa ayah sangat hebat dalam melakukan hal ini, betapa malunya diriku bila mengingat kesalahan ku dulu.
          Hari semakin sore, kurasa sampah-sampah telah terkumpul dengan banyak dan ku menjualnya. Sampah yang ku anggap banyak ternyata hanya 13 ribu, begitu sedikit bagiku dari pada melakukannya.
          Uang yang tak cukup banyak, aku segera pergi ke apotik. Kaki ini melangkah menuju apotik terdekat. Namun, aku harus menyebrang dahulu ku rasa jalan sangat sepi dan aku menyebrangi jalan dengan enjoy. Tiba-tiba sebuah mobil menabrakku dan aku melenting jauh, darah keluar sangat banyak. Pertama hanya ada 2 orang yang menolongku namun beberapa kemudian banyak orang yang mengkerumuniku salah satu dari mereka adalah warga kampungku dan membawanya ke rumah sakit.

          Ayah sungguh sangat panik, untung saja aku segera di bawa ke rumah sakit. Kalau tidak mungkin aku sudah meninggal beberapa waktu yang lalu. Dokter segera menanganiku.Tapi untunglah, ada seseorang yang rela mendonorkan darahnya kepada ku. Setelah aku siuman nanti, aku akan berterima kasih kepada orang yang mau mendonorkan darah padaku.Aku merasa terganggu dengan korden ini. Ingin sekali aku membukanya dan melihat siapa orang yang rela mendonorkan darahnya untukku. Dan ku buka korden itu, aku merasa ingin menangis melihat orang di depanku. Padahal aku tak mengenal orang itu.

1 komentar:

  1. Youtube Betting Archives - VideoDigger.cc
    Youtube Betting Archives - VideoDigger.cc A how to convert youtube to mp3 short documentary about the way people view sport with its How to place an online sports bet with the best casino games,

    BalasHapus

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com